Dalam Dekapan Ukhuwah, Prolog: Dua Telaga


بسم الله الرحمن الرحيم
TELAGA ITU LUAS, sebentang Ailah di Syam hingga San’a di Yaman. Di tepi telaga itu berdiri seorang lelaki. Rambutnya hitam, disisir rapi sepapak daun telinga. Dia menoleh dengan segenap tubuhnya, menghadap hadirin dengan sepenuh diirinya. Dia memanggil-manggil. Seruannya merindu dan merdu. “Marhabban ayyuhal insaan! Silakan mendekat, silahkan minum!”

Lalu dia bicara penuh cinta, dengan mata berkaca-kaca. “Ya Rabbi”, serunya sendu, “Mereka bagian dariku! Mereka ummatku!”

Ada suara menjawab, “Engkau tak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu!”

Air telaga itu menebar wangi yang lebih harum dari kasturi. Rasanya lebih lembut dari susu lebih manis dari madu, dan lebih sejuk dari salju. Di telaga itu, bertebar cangkir kemilau sebanyak bilangan gemintang. Dengan itulah si lelaki memberi minum mereka yang kehausan, menyejukkan mereka yang kegerahan. Wajahnya berseri tiap kali ummatnya menghampiri. Dia berduka jika dari telaganya ada yang dihalau pergi.

Telaga itu sebentang Ailah di Syam hingga San’a di Yaman. Tapi ia tak terletak di dunia ini. Telaga itu Al-Kautsar. Lelaki itu Muhammad. Namanya terpuji di langit dan bumi.

***
Telaga lain yang lebih kecil, konon pernah ada dalam cangkungan sebuah hutan di Yunani. Dan ke telaga itu, setaip pagi seorang lelaki berkunjung. Dia berlutut di tepinya, mengagumi bayangannya yang terpantul di air telaga. Dia memang tampan. Garis dan lekuk parasnya terpahat sempurna. Matanya berkilau. Alis hitam dan cambang di wajahnya berbaris rapi, menjadi kontras yang menegaskan di kulit putihnya.

Lelaki itu, kita tahu, Narcissus. Dia tak pernah berani menjamah air telaga. Dia takut citra indah yang dicintainya itu memudar hilang ditelan riak. Konon, dia dikutukoleh Echo, peri wanita yang telah dia tolak cintanya. Dia terkutuk untuk mencintai tanpa bias menyentuh, tanpa bias memiliki. Echo meneriakkan laknatnya di sebuah lembah, menjadi gema dan gaung yang hingga kini diistilahkan dengan namanya.

Maka di tepi telaga itu Narcissus selalu terpana dan terpesona. Wajah dalam air itu mengalihkan dunianya. Dia lupa pad segala hajat hidupnya. Kian hari tubuhnya melemah, hingga satu hari dia jatuh dan tenggelam. Alkisah, di tempat dia terbenam, tumbuh sekuntum bunga. Orang-orang menyebut kembang itu, narcissus.

Selesai.

Tetapi Paulo Coelho punya anggitan lain untuk kisah Narcissus. Dalam karyanya The Alchemist, tragika lelaki yang jatuh cinta pada dirinya sendiri itu diakhiri dengan lebih memikat. Konon, setelah kematian Narcissus, peri-peri hutandatang ke telaga. Airnya telah berubah dari semula jernih dan tawar menjadi seasin air mata.

“Mengapa kau menangis?” Tanya para peri.

Telaga itu berkaca-kaca. “Aku menangisi Narcissus,” katanya.

“Oh, tak heranlah kau tangisi dia. Sebab semua penjuru hutan selalu mengaguminya, namun hanya kau yang bisa mentakjubi keindahannya dari dekat.”

“Oh, indahkah Narcissus?”

Para peri hutan saling memandang “Siapa yang mengetahuinya lebih daripadamu?” kata salah seorang “Di dekatmulah tiap hari dia berlutut mengagumi keindahannya.”

Sejenak hening menyergap mereka. “Aku menangisi Narcissus,” kata telaga kemudian, “Tapi tak pernah kuperhatikan bahwa dia indah. Aku menangis karena, kini aku tak bisa lagi memandang keindahanku sendiri yang terpantul di bola matanya tlap kali dia berlutut di dekatku.”

***
Setiap kita punya kecenderungan untuk nrenjadi Narcissus. Atau telaganya. Kita mencintai diri ini, menjadikannya pusat bagi segala yang kita perbuat dan semua yang ingin kita dapat. Kita berpayah-payah agar ketika manusia menyebut nama kita yang mereka rasakan adalah ketakjuban pada manusia paling memesona. Kita mengerahkan segala daya agar tiap orang yang bertemu kita merasa telah berjumpa dengan manusia paling sempurna.

Kisah tentang Narcissus menginsyafkan kita bahwa setinggi-tinggi nilai yang kita peroleh dari sikap itu adalah ketakmengertian dari yang jauh dan abainya orang dekat. Kita menuai sikap yang sama dari sesama, seperti apa yang kita tabur pada mereka. Dari jaraknya, para peri memang takjub, namun dalam ketidaktahuan Sementara telaga itu hanya menjadikan Narcissus sebagai sarana untuk mengagumi bayangannya sendiri. Persis sebagaimana Narcissus memperlakukannya. Pada dasarnya, tiap-tiap jiwa hanya takjub pada dirinya.

Tetapi ‘Amr ibn Al-‘Ash merasakan ketiadaan sikap ala Narcissus pada seorang Muhammad, lelaki yang sesampai di surgapun masih menjadikan diri pelayan bagi ummatnya. telah belasan tahun menjadikan silat lidahnya sebagai senjata paling mematikan bagi da’wah Sang Nabi, Lalu setelah hari Hudaibiyah yang menegangkan itu, hidayah menyapanya. Dia, bersama Khalid ibn Al Walid dan ‘Utsman ibn Thalhah menuju Madinah menyatakan keislaman. Mereka disambut senyum Sang Nabi, dilayani bagai saudara yang dirindukan, dimuliakan begitu rupa.

Bagaimanapun, ‘Amr merasa hanya dirinya yang istimewa. ltu tampak dari sikap, kata-kata, dan perlakuan Sang Nabi padanya. Hari itu dia merasa Sang Rasul pastilah mencintainya melebihi siapapun, mengungguli apapun. Pikirnya, itu disebabkan bakat lisannya begitu rupa yang kelak bermanfaat bagi da’wah. Trasa sekali. Maka dia beranikan diri meminta penegasan. “Ya Rasulallah”, dia berbisik ketika kudanya menjajari tunggangan Sang Nabi, “Siapakah yang paling kau cintai?”

Sang Nabi tersenyum. “‘Aisyah,” katanya.

“Maksudku,” kata ‘Amr, “Dari kalangan lakilaki.”

“Ayah ‘Aisyah.” Rasulullah terus saja tersenyum padanya.

“Lalu siapa lagi?”

“‘Umar.”

“Lalu siapa lagi?”

“‘Utsman,” Dan beliau terus tersenyum.

“Setelah itu,” kata ‘Amr berkisah di kemudian hari, “Aku menghentikan tanyaku. Aku takut namaku akan disebut paling akhir.” ‘Amr tersadar, apalagi sesudah berbincang dengan Khalid dan’Utsman, bahwa Muhammad adalah jenis manusia yang membuat tiap-tiap jiwa merasa paling dicinta dan paling berharga. Dan itu bukan basa-basi. Muhammad tak kehilangan kejujuran saat ditanya.

Nabi itu indah dan menakjubkan memang. Tapi yang paling menarik dari dirinya adalah bahwa berada di dekatnya menjadikan setiap orang merasa istimewa, merasa berharga, merasa memesona. Dan itu semua tersaji dalam ketulusan yang utuh.

***

Di buku ini, Dalam Dekapan Ukhuwah, kita ingin meninggalkan bayang-bayang Narcissus. Kita ingin kecintaan pada diri berhijrah menjadi cinta sesama yang melahirkan peradaban cinta. Dari Narcissus yang dongeng, kita menuju Muhammad yang menyejarah. Pribadi semacam Sang Nabi ini yang akan menjadi telisik pembelajaran kita. Inilah pribadi pencipta ukhuwah, pribadi perajut persaudaraan, pembawa kedamaian, dan beserta itu semua; pribadi penyampai kebenaran.

Tak ayal, kita harus memulainya dari satu kata: iman. Karena ada tertulis, yang mukmin lah yang bisa bersaudara dengan ukhuwah sejati. Iman itu pembenaran dalam hati, ikrar dengan lisan, dan amal dengan perbuatan. Kita faham bahwa yang di hati tersembunyi, lisan bisa berdusta, dan amal bisa pura-pura, Maka Allah dan Rasulnya telah meletakkanbanyak ukuran iman dalam kualitas hubungan kita dengan sesama. Setidaknya, terjaganya mereka dari gangguan lisan dan tangan kita. Dan itulah batas terendah dalam dekapan ukhuwah.

Dalam dekapan ukhuwah kita menghayati pesan Sang Nabi. “Jangan kalian saling membenci”, begitu beliau bersabda seperti dicatat Al-Bukhari dalam Shahihnya, “Jangan kalian saling mendengki, dan jangan saling membelakangi karena permusuhan dalam hati… Tetapi jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara…”

Dalam dekapan ukhuwah kita mengambil cinta menuju puncak segala hubungan, yakni taqwa. Sebab, firmanNya tentang penciptaan insan yang berbangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal ditutup dengan penegasan bahwa kemuliaan terletak pada ketaqwaan. Dan ada tertulis, para kekasih di akhirat kelak akan menjadi seteru satu sama lain, kecuali mereka yang bertaqwa.

Dalam dekapan ukhuwah, kita mengambil cinta dari langit. Lalu menebarkannya di bumi. Sungguh di surga, menara-menara cahaya menjulang untuk hati yang saling mencinta. Mari membangunnya dari sini, dalam dekapan ukhuwah. Jadilah ia persaudaraan kita; sebening prasangka, sepeka nurani, sehangat semangat, senikmat berbagi, dan sekokoh janji.

Dalam dekapan ukhuwah, kita akan mengeja makna-makna itu, menjadikannya bekal untuk menjadi pribadi pencipta ukhuwah, pribadi perajut persaudaraan, pembawa kedamaian, dan beserta itu semua; pribadi penyampai kebenaran. Dalam dekapan ukhuwah, kita tinggalkan Narcissus yang dongeng menuju Muhammad yang mulia dan nyata. Namanya terpuji di langit dan bumi.

***

Ah, tapi jika semua tadi masih terasa sulit dan melangit, mari kita sederhanakan Dalam Dekapan Ukhuwah ini dengan sabda Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menghimbau kita untuk bercermin. Seperti Narcissus. Tapi bukan di telaga. Dan pemaknaannya pun jadi berbeda.

“Mukmin yang satu”, kata Sang Nabi, “Adalah cermin bagi mukmin yang lain,”

Bercerminlah, tapi bukan untuk takjub pada bayang-bayang seperti Narcissus, atau telaganya. Menjadikan sesama peyakin sebagai cermin berarti melihat dengan seksama. Lalu saat kita menemukan hal-hal yang tak terkenan di hati dalam bayangan itu, kita tahu bahwa yang harus kita benahi bukanlah sang bayang-bayang. Kita tahu, yang harus dibenahi adalah diri kita yang sedang mengaca. Yang harus diperbaiki bukan sesama yang kita temukan celanya, melainkan pribadi kita yang sedang bercermin padanya.

Itu saja.

Selamat datang dalam dekapan ukhuwah, Aku mencintai kalian karena AIIah.

Dalam Dekapan Ukhuwah. Karya Salim A. Fillah/ Pro-U Media
Info buku ini di e-mail: proumedia@gmail.com
Telp. 0274-376301

Puisi dakwah


Jika engkau cinta maka dakwah adalah faham
Mengerti tentang Islam, Risalah Anbiya dan warisan ulama
Hendaknya engkau fanatis dan bangga dengannya
Seperti Mughirah bin Syu’bah di hadapan Rustum Panglima Kisra

Jika engkau cinta maka dakwah adalah ikhlas
Menghiasi hati, memotivasi jiwa untuk berkarya
Seperti Kata Abul Anbiya, “Sesungguhnya sholatku ibadahku, hidupku dan matiku semata bagi Rabb semesta”
Berikan hatimu untuk Dia, katakan “Allahu ghayatuna”

Jika engkau cinta maka dakwah adalah amal
membangun kejayaan ummat kapan saja dimana saja berada
yang bernilai adalah kerja bukan semata ilmu apalagi lamunan
Sasarannya adalah perbaikan dan perubahan, al ishlah wa taghyir
Dari diri pribadi, keluarga, masyarakat hingga negara
Bangun aktifitas secara tertib tuk mencapai kejayaan

Jika engkau cinta maka dakwah adalah jihad
Sungguh-sungguh di medan perjuangan melawan kebatilan
Tinggikan kalimat Allah rendahkan ocehan syaitan durjana
Kerjakeras tak kenal lelah adalah rumusnya,
Tinggalkan kemalasan, lamban, dan berpangkutangan

Jika engkau cinta maka dakwah adalah taat
Kepada Allah dan Rasul, Alqur-an dan Sunnahnya
serta orang-orang bertaqwa yang tertata
Taat adalah wujud syukurmu kepada hidayah Allah
karenanya nikmat akan bertambah melimpah penuh berkah

Jika engkau cinta maka dakwah adalah tadhhiyah,
Bukti kesetiaan dan kesiapan memberi, pantang meminta
Bersedialah banyak kehilangan dengan sedikit menerima
Karena yang disisi Allah lebih mulia, sedang di sisimu fana belaka
Sedangkan tiap tetes keringat berpahala lipat ganda

Jika engkau cinta maka dakwah adalah tsabat,
Hati dan jiwa yang tegar walau banyak rintangan
Buah dari sabar meniti jalan, teguh dalam barisan
Istiqomah dalam perjuangan dengan kaki tak tergoyahkan
Berjalan lempang jauh dari penyimpangan

Jika engkau cinta maka dakwah adalah tajarrud
Ikhlas di setiap langkah menggapai satu tujuan
Padukan seluruh potensimu libatkan dalam jalan ini,
Engkau da’i sebelum apapun adanya engkau
Dakwah tugas utamamu sedang lainnya hanya selingan

Jika engkau cinta maka dakwah adalah tsiqoh
Kepercayaan yang dilandasi iman suci penuh keyakinan
Kepada Allah, Rasul, Islam, Qiyadah dan Junudnya
Hilangkan keraguan dan pastikan kejujurannya…
Karena inilah kafilah kebenaran yang penuh berkah

Jika engkau cinta maka dakwah adalah ukhuwwah
Lekatnya ikatan hati berjalin dalam nilai-nilai persaudaraan
Bersaudaralah dengan muslimin sedunia, utamanya mukmin mujahidin
Lapang dada merupakan syarat terendahnya , itsar bentuk tertingginya
Dan Allah yang mengetahui menghimpun hati-hati para da’ie dalam cinta-Nya
berjumpa karena taat kepada-Nya
Melebur satu dalam dakwah ke jalan Allah,
saling berjanji untuk menolong syariat-Nya

ust Aus Hidayat Nur

Salah Jika Menyalahkan


Bismillahirrahmaanirrahim

Jangan salahkan hujan,

Jika ternyata perjalananmu jadi terhambat karenanya.

Jangan salahkan angin,

Jika karenanya debu hinggap dimatamu.

Jangan salahkan petir

Jika karenanya kamu menjadi takut.

Jangan salahkan matahari,

Jika panasnya membuatmu lelah berjalan

Jangan salahkan gelap

Jika karenanya kamu tak dapat melihat

Jangan salahkan batu

Jika ternyata kamu terjatuh karenanya.

Jangan pernah salahkan orang lain

Jika sikapnya membuatmu kecewa

Jangan pernah salahkan takdir .

Yang telah ditentukan olehNya

Kalau begitu , siapa yang salah ?

Tak ada yang salah

Yang benar adalah : berusaha , berdoa dan bersyukur saja.

Selasa , 30 maret 2010

@mesjid nuril , 16 : 57